“Apa bisa beli nasi putih harga segini, Bu?” Kakek tua yang tak lain adalah ayah dari bapakku menyodorkan uang receh pecahan lima ratusan yang berjumlah sepuluh keping. Itu adalah upah yang kami dapatkan hari ini, setelah menjual barang rongsokan. Uang receh itu begitu berharga buat hidup keluargaku.
Hari ini tak banyak barang bekas yang didapat karena semakin banyaknya saingan. Belum lagi pengepul memberikan harga yang tak manusiawi sehingga nasib kami yang bergantung padanya semakin tragis. Hanya pekerjaan ini yang bisa dilakukan oleh kakek dan juga aku yang baru berusia 14 tahun. Tubuhku yang kurus karena sering menahan lapar membuatku tak kuat kerja berat. Sudah sering aku mencoba cari kerja, tapi selalu berujung penghinaan.
“Kerak-keraknya juga gak apa-apa, yang penting agak banyak.” Kakek berujar lagi saat pemilik warung nasi ini menghitung uang receh yang diterimanya. Aku ikutan deg-degan melihat ekspresi si ibu berbadan agak gemuk itu. Kami sudah langganan beli nasi putih di warung ini. Sengaja beli nasi putih saja agar dapat lebih banyak. Dengan lauk garam saja nanti di rumah, nasinya akan terasa nikmat.
Namun, kali ini yang jaga adalah pemilik warungnya langsung. Biasanya yang jaga adalah ibu-ibu muda dan selalu bersikap judes. Dia selalu ngomel saat Kakek membeli nasi putih saja seharga sepuluh ribu. Mungkin saja ibu ini lebih galak dari pelayannya, apalagi kini hanya punya lima ribu rupiah.
“Apa hanya ini uangnya, Kek?”
“Iya, Bu. Cuma itu uang yang kakek punya.”
“Siapa saja di rumah, Kek? Apa cukup harga lima ribu?”
“Cukup tak cukup, akan kami cukup-cukupkan, Bu. Nasinya akan kakek bagi dengan empat cucu. Tiga ada di rumah dan satunya lagi anak itu, cucu kakek paling besar.” Kakek menunjukku yang berdiri agak jauh. Badanku kotor dan bau sehingga tak berani mendekat. Takut kalau akan membuat pengunjung rumah makan jadi mual.
“Oh, tunggu sebentar, Kek. Akan saya siapkan nasinya.”
Kakek menatapku seraya tersenyum. Aku pun menarik napas lega mendengar jawaban dari ibu tadi. Namun, agak lama belum juga keluar ibu berjilbab panjang itu, membuat hatiku jadi cemas. Hari sudah mulai malam dan adik-adik akan khawatir jika kami belum pulang.
“Ini pesanannya, Kek.” Ibu itu akhirnya muncul, tapi dengan membawa satu kresek hitam ukuran agak besar. Kakek mengintip isinya, lalu menggeleng pelan.
“Ibu pasti salah kasih ini. Kakek hanya pesan nasi putih harga lima ribu.”
“Enggak, saya tak salah kasih, Kek. Ini rezeki kalian. Bawalah pulang, pasti cucu Kakek sudah menunggu di rumah.”
“Alhamdulillah, makasih banyak, Bu.”
“Sama-sama, Kek. Besok ke sini lagi, ya. Jangan sungkan!”
“Terima kasih sekali lagi, Bu. Kakek doakan agar warung ini semakin laris dan ibu sekeluarga dalam lindungan Allah.”
“Aamiin. Doa yang baik juga untuk kakek sekeluarga.”
Aku ikut senang melihat Kakek tersenyum semringah meskipun belum tahu apa isi kresek yang diberikan oleh ibu tadi. Karena melihat Kakek lumayan payah membawa kresek itu, aku pun mengambil alih darinya.
Aku dan Kakek berjalan agak cepat menuju rumah yang jaraknya sekitar setengah kilometer dari perkampungan. Rumah sederhana tanpa listrik yang Kakek dirikan di atas tanah warga. Sudah tiga tahun kami di sana, lebih tepatnya setelah Bapak menjual rumah dan tanah milik Kakek dan meninggalkanku begitu saja.
Bapak dan Ibu sudah bercerai, entah apa sebabnya. Yang kutahu, mereka memang sudah sering bertengkar. Bapak hanya mau membawaku karena paling besar dan sudah bisa mengurus diri sendiri tanpa menyusahkannya. Sedangkan tiga adikku ikut bersama Ibu. Namun, beberapa bulan lalu, Ibu datang ke kampung ini. Kukira akan menjemputku, tapi rupanya mengantar adik-adik untuk tinggal bersama Kakek.
“Ini cucumu, Pak. Aku masih muda dan ingin bahagia. Aku ingin menikah, tapi tak ada laki-laki yang mau menambah beban dengan merawat tiga anak yang bukan darah dagingnya. Anakmu yang merupakan bapaknya mereka saja tak peduli, apalagi orang lain. Mereka ini tanggung jawab bapak kandung mereka,” ujar Ibu kala itu dan langsung pergi tanpa menghiraukan tangisan adik-adikku.
Tubuh Ibu terlihat kurus dari terakhir kami bertemu dan wajahnya pun semakin kusam. Aku yakin, hari-hari yang Ibu lewati sangat sulit. Namun, apakah Ibu tak peduli dengan perasaan adik-adikku yang harus berpisah dengannya?
Perih, entah bagaimana aku menyebutnya. Sebagai anak tertua, aku memeluk tiga adikku, berusaha menenangkan mereka. Setelah hari itu, beban Kakek di usia senjanya bertambah. Ada tambahan tiga anak yang harus dia beri makan.
“Assalamualaikum!”
Suara salam Kakek membuyarkan lamunanku tentang orang tua yang tidak bertanggung jawab. Padahal, aku dan adik-adik tak minta dilahirkan. Apalagi jika harus menderita seperti ini. Punya orang tua lengkap, tapi serasa yatim piatu.
“Walaikumsalam. Hore, Kakek dan Bang Irham pulang,” seru Ilham, adikku yang harusnya sudah masuk SD. Iqbal dan Ikhsan pun bersorak kegirangan. Keduanya adalah kembar, tapi tidak identik. Tahun ini sudah berusia empat tahun.
“Ayo kita makan. Kakek bawa makanan yang banyak.”
“Hore. Aku sudah lapar, Kek.” Iqbal mengusap-usap perutnya yang buncit tak wajar. Banyak yang menyebutnya busung lapar karena badan yang cungkring, tidak seimbang dengan perutnya.
“Baca bismillah dulu dan makannya jangan buru-buru. Kita kebagian satu bungkus per orang.” Kuberikan satu bungkus pertama pada Iqbal. Dia biasanya makan paling lahap dan cepat karen takut tak kebagian. Namun, kali ini kami dapat rezeki yang lumayan dari orang baik. Tiap bungkusnya porsi jumbo.
“Ada ayamnya, Bang. Ini boleh dimakan semua?” Ilham menatap paha ayam yang menggoda di atas bungkusan nasi ramesnya. Dengan bantuan cahaya temaram lampu minyak, aku melihat wajah adik-adikku yang semringah.
“Iya, makanlah, Dek!”
“Makasih, Bang. Makasih, Kakek!” Ilham langsung makan dengan lahap dan sesekali memuji nikmatnya makanan yang ia kunyah.
Aku makan dengan sangat pelan, menikmati rasa yang sudah lama tak pernah kucicipi. Terakhir makan dengan lauk ayam seperti ini pas masih tinggal bersama Ibu dan Bapak.
“Kek, ayamnya dimakan. Nanti bisa diminta adik-adik,” bisikku. Nasi milik Kakek sudah habis setengah, tapi ayamnya masih utuh. Aku tahu, Kakek sering mengalah demi cucu-cucunya yang lagi masa pertumbuhan. Mereka mana tahu kalau Kakek hanya berbohong saat bilang ‘sudah kenyang’ maupun ‘tidak doyan makanan enak.’
“Kek, mereka sudah kebagian semuanya. Kakek juga harus memakannya. Suatu saat, aku akan sering membelikan ayam goreng seperti ini untuk kita semua.” Aku berbisik lagi. Kalimat terakhir seperti sebuah harapan, tapi entah akan terwujud atau tidak. Aku tak sempat lulus SD dan tak punya keahlian apa-apa. Aku hanyalah anak remaja yang dipaksa berpikir lebih dewasa oleh keadaaan.
“Sayurnya saja sudah cukup, Ham.”
“Tidak, Kek. Ayo makanlah! Kakek harus sehat dan kuat, menemaniku berjuang membesarkan adik-adik. Aku belum bisa mandiri, Kek.” Kucubit sedikit daging ayam goreng dan menyuapkannya ke mulut Kakek. Mata mulai menghangat, tapi sekuat tenaga kutahan agar tidak jatuh bulir bening ini. Aku anak laki-laki yang harus tegar dan kuat menghadapi pahitnya hidup. Akulah yang harus jadi pelindung bagi mereka semua. Dan orang pertama yang ingin kubahagiakan adalah lelaki tua ini.
Kakek, tunggu aku sukses!Di aplikasi kbm sudah tamat
Judul: Uang Receh yang Berharga
Tayang di aplikasi KBM, silakan jika berkenan lanjutannya.
Terima kasih untuk penulisnya. Semoga menginspirasi kita semua agar lebih bersyukur dalam menjalani hidup. (di)